Trends in Southeast Asian
Politics
Based on a lecture taught by
Professor Duncan McCargo
Tren
politik di Asia Tenggara menunjukkan keadaan yang penuh dengan harapan dan
ketakutan. Hal ini terlihat melalui rangkaian kejadian yang dimulai pada tahun
2013 saat terjadi pemilu yang berlangsung dramatis di Kamboja dan Malaysia.
Pada tahun 2014 terjadi kudeta oleh militer di Thailand dan kemenangan Jokowi
di Indonesia. Pada tahun 2015 partai National League of Democracy (NLD) menang
telak di Myanmar. Pada tahun 2016 Rodrigo Duterte terpilih menjadi presiden
Filipina. Pada tahun 2017 Cambodia National Rescue Party (CNRP) yang merupakan
partai oposisi di Kamboja secara resmi dilarang oleh Mahkamah Agung. Sehingga pada
tahun 2018 Cambodian People’s Party (CPP) menang. Di tahun depan, Indonesia dan
Thailand akan mengadakan pemilu.
Di sini
terlihat ada tema yang sama, yaitu polarisasi. Demokrasi, partisipasi, dan
kewarganegaraan menjadi retorika kosong belaka. Kekerasan menjadi hal yang
menimbulkan antusiasme karena berada sangat dekat dengan permukaan. Kekerasan
ini dapat pula bersifat verbal seperti desas-desus dan penistaan. Semakin ‘gila’
gosipnya, semakin kita ingin mempercayainya. Munculnya tokoh dengan kepribadian
yang kuat lebih menarik perhatian orang daripada institusi, partai, maupun
perantara lainnya. Terjadi nostalgia dan adanya simpati terhadap otoritarianisme
dan solusi represif yang diperkuat oleh timbulnya model dukungan baru melalui
media sosial dan elektronik.
Kejadian ini
disebut electoralism. Electoralism merupakan transisi yang berlangsung setengah
jalan, dari otoriterianisme menuju demokratis. Electoralism dalam jaman digital
ini menyebabkan munculnya mediated populism, yaitu terjadinya pembauran batasan
antara media dan aktor politik. Di sini terlihat adanya hubungan antara
dukungan secara virtual dan permainan politik. Media sosial menjadi tempat
terjadinya ruang publik untuk berpolitik. Makna pemilu semakin berkurang: pemilu
penting, akan tetapi tidak menentukan siapa yang memegang kekuasaan.
Contoh kasus polarisasi terjadi di Indonesia
sendiri, yaitu adanya calon presiden yang memiliki karakteristik yang bertolak
belakang. Citra diri Jokowi menarik bagi kaum miskin dan penduduk kota yang
toleran. Sedangkan Prabowo menciptakan image strongman dengan paham nativisme
yang kental. Kubu pendukung Jokowi dan kubu pendukung Prabowo masing-masing
memiliki julukan yang bersifat mengejek yaitu cebong dan kampret. Secara
kolektif, satu kubu takut terhadap kubu lainnya sehingga mereka saling menyerang.
Hal ini mencirikan adanya kecemasan nasional yang terlihat dari terjadinya
hubungan yang emosional antara pemilih. Pembawaan diri masing-masing capres dimanipulasi
oleh kedua kubu sedemikan rupa agar terjadi bias pikiran. Timbullah ketakutan,
yang menjadi senjata utama dalam berkampanye.