Minggu, 25 November 2018


Trends in Southeast Asian Politics

Based on a lecture taught by Professor Duncan McCargo

                Tren politik di Asia Tenggara menunjukkan keadaan yang penuh dengan harapan dan ketakutan. Hal ini terlihat melalui rangkaian kejadian yang dimulai pada tahun 2013 saat terjadi pemilu yang berlangsung dramatis di Kamboja dan Malaysia. Pada tahun 2014 terjadi kudeta oleh militer di Thailand dan kemenangan Jokowi di Indonesia. Pada tahun 2015 partai National League of Democracy (NLD) menang telak di Myanmar. Pada tahun 2016 Rodrigo Duterte terpilih menjadi presiden Filipina. Pada tahun 2017 Cambodia National Rescue Party (CNRP) yang merupakan partai oposisi di Kamboja secara resmi dilarang oleh Mahkamah Agung. Sehingga pada tahun 2018 Cambodian People’s Party (CPP) menang. Di tahun depan, Indonesia dan Thailand akan mengadakan pemilu.

Di sini terlihat ada tema yang sama, yaitu polarisasi. Demokrasi, partisipasi, dan kewarganegaraan menjadi retorika kosong belaka. Kekerasan menjadi hal yang menimbulkan antusiasme karena berada sangat dekat dengan permukaan. Kekerasan ini dapat pula bersifat verbal seperti desas-desus dan penistaan. Semakin ‘gila’ gosipnya, semakin kita ingin mempercayainya. Munculnya tokoh dengan kepribadian yang kuat lebih menarik perhatian orang daripada institusi, partai, maupun perantara lainnya. Terjadi nostalgia dan adanya simpati terhadap otoritarianisme dan solusi represif yang diperkuat oleh timbulnya model dukungan baru melalui media sosial dan elektronik.

Kejadian ini disebut electoralism. Electoralism merupakan transisi yang berlangsung setengah jalan, dari otoriterianisme menuju demokratis. Electoralism dalam jaman digital ini menyebabkan munculnya mediated populism, yaitu terjadinya pembauran batasan antara media dan aktor politik. Di sini terlihat adanya hubungan antara dukungan secara virtual dan permainan politik. Media sosial menjadi tempat terjadinya ruang publik untuk berpolitik. Makna pemilu semakin berkurang: pemilu penting, akan tetapi tidak menentukan siapa yang memegang kekuasaan.

                 Contoh kasus polarisasi terjadi di Indonesia sendiri, yaitu adanya calon presiden yang memiliki karakteristik yang bertolak belakang. Citra diri Jokowi menarik bagi kaum miskin dan penduduk kota yang toleran. Sedangkan Prabowo menciptakan image strongman dengan paham nativisme yang kental. Kubu pendukung Jokowi dan kubu pendukung Prabowo masing-masing memiliki julukan yang bersifat mengejek yaitu cebong dan kampret. Secara kolektif, satu kubu takut terhadap kubu lainnya sehingga mereka saling menyerang. Hal ini mencirikan adanya kecemasan nasional yang terlihat dari terjadinya hubungan yang emosional antara pemilih. Pembawaan diri masing-masing capres dimanipulasi oleh kedua kubu sedemikan rupa agar terjadi bias pikiran. Timbullah ketakutan, yang menjadi senjata utama dalam berkampanye.